Pasar Tegalgubug-Arjawinangun dikenal sebagai sentra penjualan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Para pemudik dapat berbelanja aneka tekstil, mulai dari kain meteran / kiloan sampai pakaian jadi dengan harga yang lebih murah.
Bidang perdagangan yang mereka lakukan itu berupa penjualan bahan-bahan sandang yang dipusatkan di Pasar Tegalgubug, yang berjarak kurang lebih 500 meter dari desa mereka. Tak hanya pakaian jadi, namun barang-barang lain yang mereka jual adalah bahan dasar pakaian, kerudung, taplak meja, gorden, seprei, maupun bahan sandang lainnya. Barang-barang yang dijual di Pasar Tegalgubug itu asli buatan tangan mereka sendiri.
Setiap hari, denyut kehidupan warga di dua desa itu seolah tak pernah mati. Deru mesin jahit dan hamparan kain yang akan dibuat menjadi barang sandang siap pakai, akan mudah ditemui dalam keseharian sekitar 6.000 warga di Desa Tegalgubug dan 8.124 warga di Desa Tegalgubug Lor. Proses pembuatan barang-barang sandang tersebut dilakukan di rumah masing-masing warga. Aktivitas itu dengan sendirinya telah menjadikan kedua desa tersebut sebagai kawasan home industry.
Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor terbagi menjadi lima blok, yakni blok satu sampai blok lima. Setiap blok itu masing-masing memiliki produk keunggulan. Untuk Blok Satu, produk yang diunggulkan berupa pakaian jadi, Blok Dua unggul dalam produk kelambu tempat tidur dan taplak meja. Blok Tiga unggul dalam produk kerudung maupun pakaian jadi. Blok Empat unggul dalam penjualan bahan dasar pakaian, dan blok lima unggul dalam produk seprei dan sarung bantal, taplak meja, maupun celana panjang.
Seluruh produk yang mereka buat itu selalu disesuaikan dengan tren yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, atau yang sering dikenakan para artis sinetron terkenal yang sedang naik daun. Bahkan, mereka pun menamakan produknya sesuai dengan nama artis atau tokoh yang mengenakan model pakaian tersebut. Karenanya, jangan heran jika menemukan ada kerudung ‘Benazir’ (Bhuto), kerudung ‘Teh Ninih’, baju ‘A Rafiq’, baju ‘Talita’ (sinetron Cahaya), ataupun baju ‘Azizah’ (sinetron Azizah).
Barang-barang sandang yang telah mereka produksi itu lantas dijual di Pasar Tegalgubug. Namun, keberadaan pasar itu tidak berlangsung setiap hari, hanya Selasa dan Sabtu yang menjadi hari ‘pasaran’ di pasar tersebut. Karenanya, setiap Senin dan Jumat sore, ribuan warga di dua desa itu akan berduyun-duyun mengangkut barang dagangan yang telah mereka produksi ke pasar tersebut, baik dengan menggunakan mobil bak terbuka ataupun becak.
Aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug biasa dimulai selepas shalat Isya hingga keesokan harinya sekitar pukul 14.00 WIB. Para pembeli yang datang ke pasar tersebut tak hanya berasal dari wilayah Cirebon, melainkan juga berasal dari berbagai daerah lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga negeri jiran Malaysia, bahkan negeri jauh seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, maupun Nigeria. Selain kualitas yang bagus dan ketersediaan model pakaian yang lengkap, Pasar Tegalgubug pun diburu para pembeli karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan harga barang serupa di pusat perbelanjaan ataupun di toko biasa.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ir H Maslani Samad (47), menjelaskan, sejarah Pasar Tegalgubug dimulai sekitar tahun 1914. Saat itu, warga setempat menggantungkan hidupnya dengan membuat dan menjual kemben, yakni perlengkapan kebaya kaum perempuan pada masa itu. Pasalnya, kaum perempuan di Tegalgubug memang mahir dalam menjahit. Para pembeli kemben itu berasal dari luar wilayah Cirebon. Mereka berdatangan dengan menggunakan pedati pada malam hari.
Seiring berlalunya waktu, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pun terus berjalan. Namun, aktivitas perdagangan itu belum dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Karenanya, kaum lelaki di desa tersebut lantas merantau ke Bandung untuk menjadi tukang becak. Tahun 1960-an, di Bandung mulai menjamur industri tekstil. Seringkali, pabrik-pabrik tekstil itu membuang sisa-sisa kain yang tidak mereka gunakan.
“Melihat hal itu, para tukang becak yang berasal dari Tegalgubug memungut sisa-sisa kain tersebut dan membawanya pulang. Mereka yakin kain-kain itu dapat dimanfaatkan bila diolah lebih lanjut oleh istri mereka yang memang pandai menjahit,” ujar H Maslani.
Keyakinan para tukang becak itu memang tidak keliru. Kain-kain sisa yang telah dijahit menjadi pakaian jadi itu, sangat laku dijual di Pasar Tegalgubug. Bahkan, permintaan pun terus meningkat hingga akhirnya mereka tak lagi hanya menggunakan kain sisa untuk dijahit menjadi pakaian jadi, melainkan juga membeli kain secara utuh.
Melalui promosi dari mulut ke mulut, keberadaan Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya yang terletak di sisi jalur utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat mudah untuk dijangkau oleh para pembeli yang datang dari berbagai daerah. Tercatat, ada sekitar 5.000 pedagang yang kini berjualan di Pasar Tegalgubug.
“Barang-barang di Pasar Tegalgubug sangat laku hingga perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 5 miliar untuk setiap hari pasaran. Dengan demikian, jika dihitung satu bulan, maka perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 40 miliar,” tutur H Maslani, yang memiliki usaha pembuatan perlengkapan pesta pernikahan dengan nama produk Sanga Sanga Production.
Salah seorang pemilik usaha penjualan bahan dasar pakaian, Hj Sofiyatun, menuturkan, omset penjualannya untuk setiap hari pasaran rata-rata mencapai Rp 200 juta. Bahkan jika permintaan dari pembeli sedang ramai, omset penjualannya bisa mencapai Rp 500 juta untuk setiap hari pasaran. ”Alhamdulillah. Padahal saya memulai usaha ini dengan hanya bermodalkan awal Rp 300 ribu,” kata Hj Sofiyatun.
Menurut H Maslani, aktivitas perdagangan bahan sandang tersebut telah mampu mengubah tingkat perekonomian warga Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug menjadi jauh lebih baik. Meski desa mereka bernama ‘gubug’ yang berarti rumah sederhana yang berdinding pagar dan beratap jerami, namun kini rumah-rumah warga di desa itu telah berubah menjadi rumah permanen berdinding dan berlantai marmer. Anak-anak mereka pun tidak sedikit yang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat strata satu dan strata dua di berbagai perguruan tinggi. Dan sebagai rasa syukur kehadirat Sang Mahakuasa yang telah melapangkan rezeki, mayoritas warga di dua desa itu rata-rata telah menunaikan ibadah haji, bahkan hingga beberapa kali.
“Namun memang, setiap usaha pasti ada pasang surutnya,” tutur H Maslani.
Maslani menjelaskan, penurunan aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pernah terjadi saat harga BBM naik sangat tinggi pada tahun 2001-an, yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Selain itu, faktor alam berupa gelombang laut yang tinggi juga turut berpengaruh karena pembeli di Pasar Tegalgubug banyak juga yang berasal dari luar pulau Jawa.
Berani mencoba? Datang saja ke Tegalgubug.
5 komentar:
sprei my love brapa kodiannya hub 087829382910
maap mas, kurang tau yah,,coz q bkn pedagang. tinggal mmpir ksini aza,tp hari slasa N sabtu.
tp ktanya sih harga 1 kodinya kurang lbih 1,4jt
brarti senin rabu kamis jumat minggu tutup? g bisa beli apa2?
ada yg jual kain boneka(rasfur)??
Hari apa pasar tegal gubuk buka nya, soal nya saya dari jawa timur. Mau belanja kain kiloan untuk bahan konfeksi,
Posting Komentar