. 2011 ~ "Cirebon Site"
Unduh Adobe Flash player

Sabtu, 31 Desember 2011

Bapak Rastika Sang pelukis kaca dari Gegesik

Bapak rastika adalah seorang pelukis dari desa. Desa itu Gegesik Kulon, di Kecamatan Gegesik, Cirebon.
karya-karya sang pelukis, Rastika, kini bisa dilihat di Museum Wayang, Jakarta, di beberapa rumah para pengagum seni dan bahkan mengisi Museum Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah yang dibuka Presiden Soeharto. "Saya tidak sangka nasib saya akan jadi begini," ujar Rastika. Ayah dari 3 orang anak ini, yang cuma sempat menikmati pendidikan resmi sampai kelas V Sekolah Dasar, kini bagaikan si pelukis istana Basuki Abdullah. Tadinya Rastika harus mencari pembeli lukisan kacanya. Kini ia tinggal terima pesanan. Rastika 38 tahun, bukan berasal dari keluarga yang mampu. Tapi kakeknya semasa hidup terkenal sebagai seorang pengukir keris. Kepandaian sang kakek ini rupanya menurun ke Rastika. Ketika usianya sekitar 10 tahun, sehabis membantu ayahnya di sawah, Rastika mengisi masa senggang dengan melukis. Biasanya dia melukis wayang Modalnya sederhana sekali. Kertas yang bisa didapatnya di toko Cina, dipoles dengan sumba (cat pewarna untuk kue).Kalau lukisannya selesai, ditawarkannya kepada teman-teman sebayanya atau siapa saja yang senang. "Lumayan," ujarnya, "saya bisa membantu emak untuk ongkos belanja dapur." Kalau uangnya berlebih, bukan hanya kertas yang dibelinya. Tetapi karton yang kemudian digunting dan diukir menjadi sebentuk wayang. Kepandaian ini didapatnya dari Pak Sudarga, dalang di desanya yang merangkap juga jadi pembuat wayang kulit. "Dari dia juga saya belajar melukis wayang di atas kaca," ujar Rastika. Melukis di atas kaca inilah yang kemudian menjadi keahliannya. Pasar Seni Nama Rastika ditemukan oleh dosen seni grafis ITB Harijadi Suadi, diajak ikut dalam pasar seni ITB. Gambar Semar dengan dua kalimat syahadat karya Rastika pun terpampang di jajaran sekian puluh lukisan. Sejak itulah namanya mencuat. Apalagi ketika orang yang bernama Yoop Ave, "orang Istana" yang menggemari dan mempunyai koleksi kaligrafi, juga terpesona melihat Semarnya Rastika. Seniman dari kampung Gegesik Kulon ini mulai dicari orang. Lukisan kacanya hadir dalam Pekan Raya Jakarta 1978. . Ia menciptakan sebuah sanggar usaha, dengan beberapa orang murid. Sanggar yang bernama Sungging Prabangkara ini sudah punya 10 orang murid resmi dan puluhan yang tidak resmi. Selain Rastika, penuntun untuk generasi lanjut seni lukis Cirebonan adalah Sawiyah, yang mengajarkan bagaimana membuat wayang kulit dan Sunardi, yang mengajar teknik warna untuk mengecat wayang kulit.Namun smpai sekarang Gegesik Kulon belum menjadi tempat yang terkenal. seperti Sanur atau Ubud di Bali. padahal Rastika, yang hitam manis dan ramah itu, adalah seorang pelopor lukisan kaca yang terkenal.

Jumat, 30 Desember 2011

Pemprov Gelar Festival Budaya Pesisir Di Cirebon

Cirebon - Selama tiga hari, Pemprov Jabar menggelar Festival Budaya Pesisir di Alun-Alun Keraton Kasepuhan Cirebon. Kegiatan dimulai pada Rabu (28/12/2011) dan akan berakhir Jumat (30/12/2011).
Kepala Bidang Sosial dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat (Bappeda Jabar) Edi Wahyudin mengatakan, kegiatan Festival Pesisir Jawa Barat 2011 bertujuan untuk pengembangan dan pelestarian seni budaya tradisional di wilayah Cirebon.
Selain itu, festival pun menjadi ajang untuk mempererat
hubungan silaturahmi seniman dan budayawan se wilayah III Cirebon yang meliputi Cirebon,
Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning).
"Kegiatan ini diharapkan dapat mengangkat khasanah budaya serta silaturahmi seniman dan budayawan di wilayah Cirebon," ujar Edi, Kamis (29/12/2011). Festival Budaya Pesisir Jawa Barat 2011 menampilkan berbagai kesenian tradisional dari wilayah Ciayumajakuning. Antara lain, Randu Kentir dari Losarang Kabupaten Indramayu, Kemprongan (Kuningan), Genjring Aktobat (Kabupaten Cirebon), Topeng Lakon (Kota Cirebon) dan kesenian Longser (Kabupaten Majalengka).
Sekretaris Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BKPP) Wilayah Cirebon Karma Sulaeman, berharap kegiatan tersebut dapat mengangkat kekayaan khasanah seni budaya tradisi yang merupakan akar budaya daerah .
"Festival Budaya Pesisir ni diharapkan menjadi
momentum untuk kebangkitan dan pengakuan terhadap
keberadaan seniman dan budayawan oleh pemerintah
daerah serta masyarakat," ujar Karma Sulaeman.
Sumber: www.inilah.com/read/detail/1813192/pemprov-gelar-festival-budaya-pesisir/

Kamis, 29 Desember 2011

KOLEKSI FOTO KARNAVAL NADRAN DI DESA ASTANA GUNUNG JATI CIREBON part.2





koleksi koleksi ini saya ambil langsung dari karnaval nadran di desa astana gunung jati cirebon pada tanggal 23 desember 2011 yang lalu

Sabtu, 24 Desember 2011

koleksi foto karnaval nadran di desa astana gunung jati Cirebon

Berikut ini adalah Koleksi beberapa foto yang saya ambil pada saat karnaval/ arak-arakan di desa astana gunung jati cirebon.
1.
2.
3.
4.

Karnaval Nadran (pesta Laut) di Desa Astana Gunung jati Cirebon

Cirebon, 23 Desember 2011.-. Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana Kecamatan Gunung jati Kabupaten Cirebon di padati oleh ribuan orang yang menyaksikan karnaval atau arak-arakan yang digelar menjelang tradisi nadran (pesta laut) masyarakat setempat.

Arak-arakan diikuti berbagai desa dari sejumlah kecamatan. Arak-arakan akan mengambil start dari kompleks Makam Kramat Gunung Djati melewati jalur pantura Cirebon-Indramayu sepanjang hampir 5km. Arus lalu-lintas di ruas jalur ini lumpuh selama pesta rakyat tersebut berlangsung.

Sepanjang jalan yang akan dilalui arak-arakan dari Desa Astana hingga depan gedung negara di Krucuk Kota Cirebon, ratusan replika berbagai bentuk binatang, kendaraan dan lain-lain, hasil kreasi masyarakat dari sejumlah kecamatan. Seperti Kecamatan Gunung Jati, Kapetakan, Mundu, Gegesik, Tengah Tani, Suranenggala dan lainnya. Berbagai bentuk kesenian dan budaya juga akan ditampilkan dalam pesta tahunan tersebut. Uniknya kresi yang di buat ini merupakan ukuran yang sangat besar.
Berikut beberapa kreasi dari masyarakat yang dibuat pada karnaval nadran tersebut:
1.

ini merupakan bentuk kreasi dari masyarakat kabupaten cirebon dalam bentuk paksi yang merupakan kereta pusaka dari cirebon. paksi ini dibuat dengan skala yang lumayan besar dan di arak di atas mobil, karena ukurannya besar paksi ini mendapat banyak perhatian dari masyarakat yang menyaksikannya.

2.

ini merupakan kreasi masyarakat desa astana yang berbentuk naga.
3.

ini adalah salah satu kreasi dalam bentuk ilustrasi dari cerita ramayana yng dibuat yang demikian besar.
kreasi ini berjumlah hampir mencapai 300 yang dinilai oleh setiap dewan juri dan mendapat hadiah dari pihak penyelenggara.



Pada malam harinya, rangkaian kegiatan nadran menampilkan pertunjukkan kesenian rakyat seperti wayang kulit, wayang golek,sandiwara dan lainnya. Tradisi nadran sendiri merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat nelayan dan petani kepada Tuhan yang telah memberikan rejeki lewat hasil tangkapan ikan dan hasil bumi yang melimpah.

Setiap tahun penyelenggaraan karnaval berlangsung ba'da Jumatan. Tradisi ini rutin digelar setiap menjelang musim tanam dan dijadikan sebagai patokan petani untuk memulai musim tanam

Selasa, 29 November 2011

Kirab Seni Budaya Cirebon 2011



Berbagai kesenian dan kebudayaan Ciayumajakuning dan Subang turut memeriahkan Kirab Seni Budaya Cirebon yang dilaksanakan Minggu (27/11). Kirab juga diikuti parade pasukan Kesultanan Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Kaprabonan.

Sejumlah kesenian yang ditampilkan di antaranya Genjring Rudat dan Angklung Buncis dari Kabupaten Kuningan, Buroq, Telik Sandi, Berokan, Tari Topeng, Barongsai, dan masih banyak lagi. Selain itu, puluhan anggota komunitas sepeda onthel juga turut meramaikan kirab tersebut.

Kirab dibuka Wali Kota Cirebon Subardi. Hadir dalam kesempatan itu jajaran muspida Kota Cirebon, Kepala Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Jawa Barat Ano Sutrisno, pengusaha Ciayumajakuning Imam Taufik yang juga bertindak sebagai sponsor kegiatan.

Kirab Budaya Ciayumajakuning juga dimeriahkan sejumlah artis ibu kota seperti Titiek Puspa, Didi Petet, Arumi Bachsin, juga Ian Kasela. Sementara itu, ribuan warga memadati sekitar Jalan Siliwangi untuk menyaksikan kirab tersebut.

Walikota Subardi dalam kesempatan itu menyebutkan, gelaran kirab dimaksudkan untuk mengingatkan kesenian dan kebudayaan daerah Ciayumajakuning. "Harus disadari, seni budaya di Ciayumajakuning banyak. Di antaranya ada yang sudah dikenal luas, tapi tak dipungkiri masih banyak pula yang belum dikenal," tutur Subardi.

Kirab budaya digelar seusai sidang paripurna istimewa dalam rangka hari jadi. Cuaca panas yang menyengat siang itu, tidak menjadi penghalang sediktipun bagi masyarakat untuk berbondong-bondong menonton kirab budaya.

Ribuan warga memadati sisi jalan yang dilewati rombongan kirab budaya. Minggu malam, rangkaian hari jadi Kota Cirebon dilanjutkan dengan Pembacaan babad Cirebon di Keraton Kanoman.

Sabtu, 26 November 2011

“Putri Ong Tien” Meriahkan Panggung Budaya Sunyaragi Cirebon


Kirab budaya dalam rangka menyambut hari jadi Kota Cirebon ke-642, diramaikan oleh drama tari kolosal “Putri Ong Tien” yang digelar di Panggung Budaya Sunyaragi selama dua hari, (25-26/11).

Episode pertama “Putri Ong Tien” sudah dimulai pada Jum’at malam, (25/11) di Panggung Budaya Sunyaragi Kota Cirebon yang dihadiri ratusan penonton. Masyarakat Cirebon begitu antusias menyaksikan drama yang mengisahkan pertemuan hingga meninggalnya Putri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati. Drama yang berlangsung sekira dua jam ini, (pukul 20.00 sampai 22.00 WIB), dimainkan oleh tokoh-tokoh senior dalam dunia seni drama yang berasal dari berbagai sanggar seni.

Ketua Panitia, Bambang Iriyanto kepada CNC mengatakan bahwa pemain drama ini berasal dari gabungan berbagai macam sanggar, seperti Sekar Pandan, Lam Alif, Pajajar, Singa Barong, dan Tari Topeng Mimi Rasinah. Demikian juga anak didik Ibu Sawitri, Ibu Baedah putri Jublag dan sang Maestro Mba Nani dari Palimanan. Tak ketinggalan Inu Marta Pati, anak Mang Sujana Arya dari Slangit juga terlibat dalam drama ini.

Lebih lanjut Bambang Iriyanto mengatakan bahwa lima pemain utama “Putri Ong Tien” ini, sering bermain drama ke luar negeri. Bambang juga menjelaskan bahwa pemain yang berperan sebagai Sunan Gunungjati adalah Sarjana Tari dari STSI. Sementara Putri Ong Tien diperankan oleh seorang Sarjana Komunikasi dan seorang anggota polisi yang berperan sebagai pemain silat.

Bambang juga mengatakan bahwa kegiatan ini bisa terselenggara atas kerjasama Kasultanan Kasepuhan Cirebon, Keraton Kanoman Cirebon, Keraton Kacirebonan, Yayasan Budaya Sunyaragi, Yayasan Prima Ardian Tana, Perkumpulan Sanggar Seni Budaya Cirebon, Yayasan Vihara Welas Asih Cirebon dan didukung oleh Sariayu Martha Tilaar.

Bagi masyarakat yang kebetulan belum sempat menyaksikan drama ini, maka bisa datang nanti malam di Panggung Budaya Sunyaragi Cirebon.

sumber: http://www.cirebonnews.com/Sosial-Budaya/Putri-Ong-Tien-Tampil-di-Panggung-Budaya-Sunyaragi-Cirebon.html

Walikota Buka Festival Seni Budaya Cirebon 2011



WalikotaCirebon, Subardi S. Pd., Jum’at malam (25/11) membuka Festival Seni dan Budaya Cirebon yang akan berlangsung dari 25 sampai 27 Nopember 2011 di halaman Pusdiklatpri Jl. Cipto Mangunkusumo Cirebon.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata Kota Cirebon ini merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka mememeriahkan hari ulang tahun Kota Cirebon ke-642 yang puncaknya akan berlangsung pada Minggu, (27/11).

Tepat Pukul 19.30 WIB Wali Kota Cirebon membuka secara resmi Festival Budaya yang akan diikuti oleh puluhan peserta ini. Panitia acara, Drs. Abidin (47 tahun) yang juga Kepala Bidang Kebudayaan Kota Cirebon saat ditemui CNC disela sela acara menyampaikan bahwa acara yang akan digelar dalam festival ini antara lain Kirab Prajurit Keraton Cirebon, Kirab Seni Ciayumajakuning dan Subang, Pagelaran seni dan Budaya dan lain sebagainya.

Sementara itu, Work Shop Seni Kriya sendiri dibuka lebih awal, yaitu pada pukul 14.30 WIB oleh Drs. Abidin, Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Budaya dan Pariwisata dengan melakukan goresan pertama koas lukis pada kain kanvas yang menandai lomba Work Shop Seni Kriya dibuka.


http://www.cirebonnews.com/Sosial-Budaya/Wali-Kota-Buka-Festival-Seni-dan-Budaya-Cirebon.html

Jumat, 18 November 2011

Gedung negara Cirebon

Gedung Negara Cirebon yang berada di Jl. Siliwangi merupakan sebuah gedung tua sangat cantik, yang seorang pejalan tidak akan melewati tanpa singgah sebentar ketika melihatnya. Gedung satu lantai dengan lengkung simetris di kiri kanannya ini memiliki halaman yang sangat luas, dengan sebuah taman bundar dan sebuah bendera negara berkibar di tiang yang terpancang di tengahnya.

Gedung Negara Cirebon
Gedung Negara Cirebon ini bangunannya terlihat agak mendatar karena hanya berlantai satu dan bentuknya yang melebar ke samping. Empat buah lampu dengan ornamen lengkung yang cantik menghiasi taman, dengan tulisan Gedung Bundar yang diciptakan dari pangkasan tanaman.

Gedung Negara Cirebon
Teras depan Gedung Negara Cirebon yang terlihat sejuk saat saya berdiri memotret di tengah terik matahari Cirebon. Teras Gedung Negara Cirebon ini disangga pilar ganda dengan jendela-jendala kisi tinggi berdaun dua.

Gedung Negara Cirebon
Sang Saka Merah Putih berkibar di atas tiang bendera yang kokoh berornamen bunga teratai di pangkalnya, berlatar langit Kota Cirebon dengan seleret awan tipis yang terlihat seperti memancar dari kain bendera, mendaki ke atas langit biru yang indah. Gedung Negara Cirebon tampak terlihat berdiri anggun di belakangnya.

Gedung Negara Cirebon
Beberapa buah lampu anggun antik terlihat menggantung menghiasi teras depan Gedung Negara Cirebon, dengan beberapa pasang kursi dan meja yang tampak nyaman sebagai tempat bersantai saat sore dan malam hari.

Gedung Negara Cirebon
Sayang kami tidak diperbolehkan masuk oleh penjaga yang bertugas di pos, sehingga tidak bisa melihat ke bagian dalam gedung yang konon keramik di setiap ruangannya berbeda.

Gedung Negara Cirebon
Pintu masuk ke dalam Gedung Negara Cirebon.

Gedung Negara Cirebon
Gedung Negara Cirebon ini konon dibangun pada tahun 1865, namun tidak begitu jelas siapa arsitek yang merancangnya. Gedung Negara Cirebon sebelumnya adalah Cheribon Residentswoning atau kantor Karesidenan Cirebon. Ada yang menyebutnya sebagai bekas gedung Karesidenan Tangkil, mungkin mengambil nama wilayah dimana Gedung Negara Cirebon ini berada. Gedung Negara Cirebon saat ini menjadi kantor Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon.


sumber: http://thearoengbinangproject.com/2010/11/wisata-negara/

Kirab dan budaya Ciayumajakuning 2011


CIREBON – Pagelaran kirab seni dan budaya Ciayumajakuning yang berlangsung di Kota Cirebon berlangsung meriah,kemarin tanggal 14 November 2011.

Puluhan kelompok seni tradisional dari Kota Cirebon,KabupatenCirebon, Indramayu,Majalengka, danKuninganikutdalam pagelaran tersebut. Acara yang digelar Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (Bakorpembang) Wilayah III Jawa Barat tersebut sebagai kegiatan untuk memperingati HUT Ke-66 Provinsi Jabar dan menyambut hari jadi Ke-642 Kota Cirebon. Kirab seni itu diisi penampilan kesenian tradisional dari daerah di wilayah Cirebon.

Di antaranya tari Telik Sandi dari Kota Cirebon, kasidahan dari Kabupaten Indramayu, serta tarian dan bentuk-bentuk kesenian lain yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Diawali dari halaman Gedung Negara Kantor Bakorpembang di kawasan Krucuk,Kota Cirebon, rombongan berarak menuju Jalan Diponegoro menuju Alun-alun Kejaksan, hingga kembali ke tempat semula. Kepala Bakorpembang Wilayah III Jabar Ano Sutrisno mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan mengembangkan seni budaya masyarakat, khususnya di wilayah Ciayumajakuning.

Kirab hari itu sendiri merupakan ketiga kalinya yang digelar setiap tahun. “Setiap tahun, kesenian yang ditampilkan berbeda-beda.Dengan begitu, diharapkan masyarakat mengetahui ragam seni budaya Ciayumajakuning,” ungkap dia. Dalam kesempatan itu, dia meminta pemda di lingkungan Kota dan Kabupaten Cirebon lebih memperhatikan keberadaan seni dan budaya di daerahnya masing-masing. Sehingga keberadaannya tetap lestari. Perhatian yang dimaksudnya terutama dari segi anggaran.

Menurut dia, meski perhatian pemda sudah ada,dari segi anggaran dianggap masih kurang memadai. Selain anggaran, pemda juga diingatkan memberi kesempatan kepada para seniman daerah untuk menampilkan kreativitasnya.“Kalau bisa, kolaborasikan seni modern dan tradisional,”ujar dia. Di sisi lain dia mengakui,tugas tersebut juga harus dilakukan Pemprov Jabar. “Intinya pelestarian dan pengembangan seni tugas bersama,” pungkas mantan Sekretaris Daerah Kota Cirebon ini

Selasa, 08 November 2011

Grebeg Agung Cirebon (11 dzulhijah 1432H) 2011

Cirebon - (Senin,
07.11.2011) Hari raya qurban
Minggu (06/11) kemarin,
dirayakan secara khusus oleh
Keraton Kanoman Cirebon.
Ritual yang dikenal dengan
Grebeg Agung ini,
dilaksanakan usai sholat ied di
komplek makam Sunan
Gunungjati. Untuk kedua
kalinya dalam setahun, pintu
gerbang utama makam dibuka
saat kerabat keraton
berziarah di makam Sunan
Gunungjati. Grebeg Agung ini
dihadiri ratusan warga dan
peziarah yang berharap
berkah dari acara ini.
Ritual Grebeg Agung sendiri
baru dimulai saat rombongan
Sultan Kanoman XII memasuki
pintu gerbang utama makam
Sunan Gunungjati atau
Pasujudan. Pintu gerbang ini
hanya dibuka dua kali dalam
setahun, yakni pada Grebeg
Agung dan Grebeg Syawal.
Komplek dalam makam Sunan
Gunungjati juga hanya boleh
dimasuki kerabat keraton.
Saat rombongan sultan dan
kerabat keraton Kanoman
berziarah ke makam Sunan
Gunungjati, ratusan warga dan
peziarah langsung berebut
menaburkan kembang
setaman dan uang logam di
Pasujudan. Mereka juga
menggelar tahlil di sekitar
Pasujudan. Warga dan
peziarah berharap barokah
dan bisa meneladani
semangat Sunan Gunungjati
dalam menyebarkan Islam di
tanah jawa.
Selain bertujuan untuk
menghormati jasa Sunan
Gunungjati dan keturunannya,
Grebeg Agung juga menjadi
ajang silaturahmi antara
keraton dan warga sekitar.

Senin, 07 November 2011

Sedekah Bumi , Cirebon

Sedekah Bumi, adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan turun hujan menggarap sawahnya. Biasanya dilakukan pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober dan Desember.
Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di Alun- alun Gunung Sembung, misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko, wayang, bahkan sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan.

Minggu, 23 Oktober 2011

Monumen Kejawanan Cirebon

Situs Monumen Kejawanan ini merupakan sebuah petilasan, tempat pertapaan Pangeran Sukmajaya yang adalah juru penasehat (Juru Martani) Sunan Gunung Jati. Makam Pangeran Sukmajaya sendiri berada di Gunung Sembung, di kompleks Makam Sunan Gunung Jati.

Bentuk bangunan ini jika kita lihat dari luar lebih menyerupai sebuah rumah. Di pekarangannya terdapat pohon beringin tua yang berukuran besar, lalu terdapat papan nama yang bertuliskan "Monumen Kejawanan" merupakan cagar budaya kota Cirebon yang telah berdiri sejak abad 17 Masehi.
Monumen ini diyakini sebagai bangunan keramat. Kondisi keseharian Monumen Kejawanan selalu tertutup untuk kedatangan masyarakat umum, hanya orang-orang tertentu dengan tujuan khusus yang diperbolehkan untuk masuk yaitu jika mempunyai tujuan untuk berziarah atau niis dalam istilah bahasa daerah setempat. Sekilas pandangan yang hanya dapat dilihat dalam monumen tersebut dari celah lubang angin di dindingnya ternyata ruang di dalam berupa tempat ibadah seperti mushola, terdapat tikar dan sajadah, juga terdapat dupa. Cahaya dari lampu neon tampak remang.

Sayang, jika saja benda-benda cagar budaya di Kota Cirebon ini selain dilestarikan dan dikelola dengan sungguh-sungguh sebagai tempat wisata mungkin Kota Cirebon tak akan dipandang sebelah mata sebagai salah satu tujuan wisata bagi turis lokal maupun internasional.
Lokasi Monumen Kejawanan ini tepat berada di seberang jalan masuk ke Pelabuhan Kejawanan Cirebon.

Senin, 17 Oktober 2011

Terasi Udang rebon

Terasi adalah produk awetan
dari ikan atau udang rebon
segar yang telah diolah
melalui proses pemeraman
atau fermentasi, disertai
dengan proses penggilingan
dan penjemuran yang
berlangsung relatif lama,yang banyak di produksi di daerah pantura khususnya Cirebon.

Terasi umumnya berbentuk
padat, teksturnya agak kasar,
dan mempunyai kekhasan
berupa aroma yang tajam
namun rasanya sangat gurih.
Terasi yang diperdagangkan
ada 2 macam, yaitu terasi
udang dan terasi ikan. Terasi
udang biasanya mempunyai
warna cokelat kemerahan,
sedangkan terasi ikan
berwarna kehitaman.

Melihat dari bahan bakunya,
terasi mempunyai kandungan
protein, kalsium dan yodium
yang cukup tinggi. Namun
kandungan tersebut tidak
begitu banyak berperan,
karena fungsi terasi yang
hanya sebagai penyedap
mengakibatkan pemakaian
terasi dalam masakan sangat
sedikit.

Kerupuk kulit Kerbau (Kerupuk Kebo)

`kerupuk kulit kerbau atau biasa dikenal oleh orang cirebon dengan sebutan 'krupuk kebo' adalah cemilan khas cirebon yang terbuat dari kulit kerbau asli dengan cipta rasa yang khas dan sangat gurih,serta kriuk-kriuk bila di makan. Krupuk kebo ini biasa di suguhkan dengan Empal Gentong sebagai penambah nikmat.ËŠ

Minggu, 16 Oktober 2011

Reformasi Budaya

Bangsa kita kaya akan
budaya
Budaya di bangsa kita
kaya
Berbudayakah bangsa kita
Budaya siapakah dia

Reformasi… .
Kebebasan berekspresi
Kebabasan membuka diri
Kebebasan tuk memberi

Reformasi… .
Haruskah budaya juga
Kebebasan yang ada
semakin tak terjaga
Bebas tapi terpenjara

Ada budaya di bangsa kita
Yang harus di ubahkan
Ada budaya di bangsa kita
Yang harus di lestarikan

Budaya harus kita jaga
agar tak ternodai
Jangan budayakan korupsi
Budayakan puisi
Budayakanlah seni

Budaya yang ada sedikit
yang murni
Budaya yang murni sedikit
ada
Hati nurani kadang
berkata
Inikah budaya bangsa

Bangsa yang kaya akan
budaya
Bangsa yang selalu
berjaya
Bangsa kita harus berjaya
Bangsa kita harus
berbudaya

Mari generasi muda
bangsa
Kita jaga dan hormati
budaya bangsa
Bukan budaya para
penguasa
Budaya yang harus dijaga
adalah budaya bangsa

Budaya berasal dari Budi
dan Daya
Akal sehat tuk berkarya
Membangun nusa dan
bangsa
Membawa Kehormatan
bangsa.

sumber: http://rizaljenius.wordpress.com/2009/10/23/puisi-budaya/

Docang khas Cirebon

Docang adalah salah satu makanan khas yang berasal dari Cirebon.
Docang merupakan perpaduan dari lontong, daun
singkong, toge, dan kerupuk,
yang berkolaborasi sayur Dage/
Tempe Gembos (yang
dihancurkan) serta di
kombinasikan dengan parutan
kelapa muda.
Makanan ini mempunyai rasa
khas yang gurih dan nikmat
apabila disajikan dalam
keadaan panas atau hangat. soal harga memang murah . Tapi seiring dengan kemajuan zaman dan banyaknya makanan cepat saji,membuat popularitas docang menurun dan sekarang sudah sulit di temui orang yang menjual docang.

Bubur Sop khas Cirebon

Bubur ini berisi irisan kol, daun
bawang, tauco yang dituangi
kuah sop dan ditaburi beberapa suwiran
ayam serta kerupuk. Bisa di katakan makanan ini
merupakan kombinasi dari
bubur ayam dan Sayur Sop.
Disajikan panas-panas dan
biasanya bubur sop ini hanya
dijual pada malam hari,karena bisa menghangatkan suasana dinginnya malam.

Tahu Petis khas Cirebon

Tahupetis Cirebon adalah
tahu goreng yang dimakan
dengan saus yang berwarna
hitam yang dinamakan petis.
Tahu goreng tersebut seperti
tahu pong tapi rasanya tidak
asin. yaitu berasal dari tahu
putih yang digoreng sampai
kecoklatan tanpa dibumbui
apapun. sedangkan petisnya
berasa manis agak sedikit
asin. agar menggugah selera
tahu petis biasanya dimakan
dengan cabai hijau.
Daribentuknya yang berupa
segitiga karena memang
dipotong melintang dari
bentuk asalnya, tahu petis ini
berbeda dengan tahu
Sumedang atau tahu
kuningan. Meskipun digoreng
kering namun isi atau daging
bagian dalam tahu masih
terasa berisi atau tidak
berongga. Karena terasa lebih
berdaging itulah tahu goreng
ini lebih enak dinikmati
bersama petis atau cabe
rawit.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Keraton Kaprabonan Cirebon


Kraton Kaprabonan adalah salah satu keturunan Prabu Siliwangi Raja Pakuan Pajajaran (Abad XV), beristri permaisuri bernama Ratu Subang Larang, yang berputera:
Pangeran Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana yang bergelar Prabu Anom atau Sri Mangana.
Ratu Mas Rarasantang.
Pangeran Raja Sengara atau Kiai Santang Ratu Mas Rarasantang setelah menunaikan ibadah haji bersama kakaknya (Pangeran Walasungsang), namanya menjadi Hajjah Syarifah Mudaim. Dari sanalah Ratu Mas Rarasantang bertemu jodoh yang kemudian menikah dengan Sultan Mesir bernama Sultan Mahmud Syarief Abdullah dimana beliau keturunan ke-21 dari Rasulullah Muhammad SAW yang kemudian dikaruniai 2 orang putera, yaitu:
Syech Nurudin Ibrahim Syarief Hidayatullah.
Syech Syarief Nurullah Syech Syarief Hidayatullah (putera pertama Sultan Mesir) setelah berumur sekitar 26 thn, hijrah ke tanah Sunda dalam melaksanakan tugas untuk menyebarkan agama Islam sesuai dengan janji dan cita-cita ibundanya. Sedangkan Syech Syarief Nurullah (putera ke-2 Sultan Mesir) yang meneruskan ayahandanya sebagai Sultan Mesir, karena kakaknya tidak mau menjabat sebagai Sultan Mesir dan patuh perintah ibundanya.
Pada tahun 1479 M, Syech Syarief Hidayatullah Susuhunan Jati Cirebon menjadi kepala negara di Cirebon, dan bergelar:
" Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Zaman Khalifatur Rasulullah SAW "

Pada tahun 1500 M Syech Syarief Hidayatullah telah menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, bahkan sampai ke negeri Cina (Tartar). Susuhunan Gunung Jati beristri dengan Nyai Kawunganten (adik bupati Banten), berputera Pangeran Maulana Hasanudin yang kemudian menjadi Sultan Banten. Setelah itu beristeri lagi dengan Nyai Tepasari dan berputera Pangeran Pasarean yang meneruskan sebagai Kepala Pemerintahan di Cirebon yang nama lengkapnya adalah Pangeran Dipati Muhammad Arifin Pasarean. Pangeran Pasarean berputera Pangeran Adipati Carbon.
Pangeran Adipati Carbon berputera Panembahan Ratu I atau Pangeran Emas (Kepala Negara Carbon ke-2), bertahta mulai tahun 1528 M. Panembahan Ratu I berputera Pangeran Dipati Anom Carbon, Pangeran Dipati Anom Carbon berputera Panembahan Ratu II (Kepala Negara Carbon ke-3) wafat pada tahun 1601 M di Girilaya Yogyakarta ketika diundang oleh mertuanya, yaitu Amangkurat I Sultan Mataram katanya, tetapi ternyata ditipu muslihat oleh kolonial Belanda dengan cara disekap (dipenjarakan) untuk menandatangani penyerahan keukasaan pemerintah Cirebon kepada pemerintah Belanda. Namun Panembahan Ratu II tetap tidak mau menandatanganinya dan menyerahkan kekuasaan Cirebon kepada pemrintah Belanda, sampai akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman raja-raja di Girilaya, Imogiri Yogyakarta. Setelah wafatnya Panembahan Ratu II, kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon akhirnya lemah karena putera-puteranya masih kecil akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan pemerintah Belanda pada tahun 1601 M, sehingga kekuasaan pemerintah Kesultanan Cirebon secara mutlak tidak ada lagi. Kesultanan Cirebon hanya diberi wilayah kekuasaan dan hak-haknya secara terbatas.
Panembahan Ratu II (Panembahan Ratu Akhir) berputera:
Pangeran Martawijaya, bergelar Sultan Sepuh Samsudin, menetap di Keraton Kasepuhan.
Pangeran Kartawijaya, bergelar Sultan Anom Badrudin, menetap di Keraton Kanoman.
Pangeran Wangsakerta, bergelar Panembahan Toh Pati sebagai asisten Sultan Sepuh yang menetap di Keraton Kasepuhan dan beliau hanya menurunkan sampai 2 turunan, setelah itu punggal (tidak menurunkan lagi).
Dari Sultan Anom Badrudin Keraton Kanoman berputera:
Pangeran Raja Adipati Kaprabon, dari ibunda Ratu Sultan Panengah (permaisuri ke-2) bergelar Sultan Pandita Agama Islam Tareqat, yang hijrah dan menetap di Keraton Kaprabonan.
Pangeran Raja Mandurareja Qodirudin dari ibunda Nyi Mas Ibu (permaisuri ke-3) yang meneruskan sebagai Sultan Anom di Keraton Kanoman.
Keraton Kaprabonan mulai berdiri pada tahun 1696 M yang dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Kaprabon dengan cita-citanya mengembangkan agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu, terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. Pada saat itu gejolak politik pemerintahan Belanda semakin memanas, dan perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Belanda pun masih terus berjalan, sehingga Pangeran Raja Adipati Kaprabon ingin menjauhkan diri dari situasi tersebut dan selalu mengkhususkan diri (Mandita) dalam mengembangkan agama Islam kepada para murid-muridnya, beliau tetap mendukung perjuangan adiknya untuk mengusir kolonial Belanda walaupun tidak sampai berhasil karena pada saat itu kekuatan kolonial Belanda semakin besar dengan telah dibentuknya Pemerintahan Residen Belanda yang dipimpin oleh Delamoor. Kepemimpinan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat kuat dengan politik pendekatan persuasif dengan Kesultanan dan para tokoh masyarakat pada saat itu.
Pangeran Raja Adipati Kaprabon tetap memegang komitmen melaksanakan amanat dari Gusti Susuhunan Jati Syech Syarief Hidayatullah, yaitu "Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin".
Maka dengan demikian beliau tetap tekun memperdalam agama tareqat dan menyebarkannya kepada para muridnya di sekitar wilayah Cirebon, bahkan banyak dari luar wilayah Cirebon yang berdatangan untuk menjadi muridnya, seperti dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada waktu diangkat menjadi Sultan Pandita Agama Islam Tareqat beliau telah diwarisi sebilah keris pusaka yang bernama Ki Jimat oleh Sultan Kanoman Pangeran Muhammad Badrudin dan beberapa kitab keagamaan maupun kitab pusaka dan sejarah yang sampai sekarang masih ada dan berjumlah sekitar 100 kitab dan tersebar di 4 paguron.
Keris Ki Jimat di dalamnya terukir dengan guratan emas dan tertulis Arab yang bermakna kalimat Tauhid dan keselamatan dunia akhirat. Setelah pesatnya perkembangan kemurdan keagamaan, 11 tahun kemudian Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada tahun 1707 M mendirikan Langgar atau Tajug untuk tempat belajar ngaji dan agama agar proses belajar tersebut dapat berjalan dengan lancar dan baik, yang akhirnya juga dapat dijadikan tempat untuk pertemuan menyusun perjuangan melawan Belanda pada waktu itu.
Dalam setiap perjuangannya untuk mengadakan pelawatan ke daerah-daerah lain, P.R.A. Kaprabon menggunakan kereta berkuda yang dikawal oleh beberapa abdi dalemnya. Dengan kelincahan dan kepandaiannya dengan dalih agama, beliau tidak pernah ditangkap oleh tentara Belanda pada waktu itu, dan penyebaran agamanya pun cukup berhasil sampai ke pelosok-pelosok.

Setelah Pangeran Raja Adipati Kaprabon sebagai Sultan Pandita agama Islam Tareqat wafat pada tahun 1734 M, kemudian secara turun-menurun diteruskan oleh puteranya, yaitu:
Pangeran Kusumawaningyun Kaprabon (1734 - 1766)
Pangeran Brataningrat Kaprabon (1766 - 1798)
Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Kaprabon (1798 - 1838)
Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja Kaprabon (1838 - 1878)
Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon (1878 - 1918)
Pangeran Angkawijaya Kaprabon (1918 - 1946)
Pangeran Aruman Raja Kaprabon (1946 - 1974)
Pangeran Herman Raja Kaprabon (1974 - 2001)
Pangeran Hempi Raja Kaprabon (2001 - sekarang)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Keraton Kasepuhan Cirebon




Saat berkunjung ke Cirebon, kami tertarik untuk mengunjungi keraton Kasepuhan yang berada di tengah kota Cirebon. Sangat mudah untuk mencapai keraton ini, tepatnya berada di Jl Keraton Kasepuhan No. 43. Mungkin karena begitu dekatnya dengan pusat kota, warga Cirebon sendiri banyak yang belum pernah masuk ke keraton ini.
Tiket masuknya (thn 2007) sebesar Rp 3000 / orang. Memasuki kawasan, kita akan ditemani oleh pemandu wisata yang berpakaian tradisional yang pada umumnya masih merupakan keluarga abdi dalem keraton. Keraton ini memiliki pagar dan gapura yang terbuat dari susunan bata merah, dan konon direkatkan tanpa menggunakan semen sama sekali. Dalam keraton ini terdapat nuansa asimilasi antara budaya Jawa, Sunda bahkan Cina dan Eropa. Di halaman keraton terdapat patung 2 ekor macan putih. Dalam areal keraton juga terdapat Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Keraton di Cirebon memiliki beberapa kesamaan yang mungkin menjadi standard dengan keraton2 di Cirebon, antara lain menghadap ke Utara, lalu di sebelah Timur terdapat masjid, memiliki alun2 untuk rakyat berkumpul, serta memiliki patung macan perlambang Prabu Siliwangi. Namun dari ketiga keraton yang ada di Cirebon (Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan), keraton Kasepuhan nampaknya terlihat yang paling terawat.
Di dalam museum yang berada di Utara keraton terdapat benda-benda peninggalan kerajaan seperti peralatan perang, meriam dan kereta kencana yang digunakan saat berperang. Kereta ini disebut Kereta Singa Barong, berkepala gajah yang belalainya memegang trisula (pengaruh Hindu), bersayap garuda (pengaruh Islam) dan berekor naga (pengaruh Cina). Kereta ini sudah memiliki teknologi shockbreaker dan juga memiliki mekanik untuk mengepakkan sayapnya. Namun kereta ini sejak 1942 sudah tidak difungsikan lagi dan hanya keluar untuk ‘dimandikan’ setiap tanggal 1 Syawal. Sayang kondisi tempat ini kurang terlalu terawat, padahal barang di dalamnya sudah berusia ratusan tahun. Sedangkan di museum di bagian Selatan Keraton terdapat perhiasan, pernak-pernik, piring, dan perlengkapan keraton yang digunakan saat jaman Sunan Gunung Jati.
Terlihat banyak sekali pengaruh budaya Islam di dalam ornamen2 keraton. Namun di keraton ini juga banyak terdapat porselain2 Cina juga lampu hias dari Eropa dan juga keramik2 yang melukiskan gambar2 tentang tokoh dalam Alkitab. Ada juga sebuah lukisan Prabu Siliwangi bersama seekor macan, dimana dalam lukisan ini sorotan mata Prabu maupun macan akan mengikuti kita dimanapun posisi kita berada. Hhmm… penasaran ? Silahkan Anda coba sendiri. Di beberapa ruangan terdapat baki yang berisi sumbangan sukarela untuk kebersihan dan perawatan museum. Pemandu sempat menceritakan bahwa Dorce dalam acara Dorce Show sempat kesurupan di tempat ini, karena tidak permisi sebelum mengambil gambar di tempat ini dan baru sembuh setelah diberi minum dari sumur di keraton yang dimantera oleh penjaga kunci. Pesannya adalah setiap pengunjung sebaiknya menjaga sikap & jangan sembarangan..
Secara keseluruhan keraton ini cukup layak dikunjungi, karena letaknya yang mudah dicapai serta tiket masuk yang terjangkau, pemandu wisata pun cukup detail memberikan penjelasan. Keraton Kasepuhan buka dari jam 8.00 -16.00 untuk hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis & Sabtu, untuk hari Jumat dari jam 7.00-11.00, lalu ditutup untuk sembahyang Jumat, lalu dibuka kembali pukul 14.00-16.00 sedangkan untuk hari Minggu/Libur dari jam 8.00 – 17.00

Selasa, 04 Oktober 2011

Sejarah Lukisan Kaca Cirebon


Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pula Jawa.Pada jamannya pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan berupa Lukisan Kaca Wayang.

Sejalan dengan perkembangan waktu, maka perkembangan Lukisan Kaca masih terasa eksistensinya sebagai Cinderamata Spesifik Khas Cirebon. Mengapa Lukisan Kaca disebut sebagai produk spesifik ? hal itu dikarenakan Lukisan Kaca Cirebon dilukis dengan teknik melukis terbalik, kaya akan gradasi warna dan harmonisasi nuansa dekoratif serta menampilkan ornamen atau ragam hias Motif Mega Mendung dan Wadasan yang kita kenal sebagai Motif Batik Cirebon. Selanjutnya perkembangan Lukisan Kaca Cirebon boleh dikatakan “Booming” ketika pada kurun waktu 1980-1990 Sang Maestro Lukisan Kaca Cirebon TOTO SUNU menggebrak dengan Lukisan Kaca Super Besar bahkan tidak hanya besar ukurannya tetapi Nuansa Dekoratifnya demikian hidup dan terlihat sangat menawan. Banyak sekali karya-karya TOTO SUNU yang menjadi koleksi para Kolektor Lukisan, sehingga sangatlah wajar apabila Gaya dan Teknik lukisannya menjadi kiblat para Pelukis Muda hingga saat ini.

Kalau Toto Sunu mengusung Gaya Dekoratif Modern, maka lain lagi halnya dengan RASTIKA yang mengusung Gaya Dekoratif Klasik. Kedua maestro Lukisan Kaca Cirebon tersebut memiliki kekuatan yang sama dalam penuangan kreatifitasnya, justeru dengan perbedaan pada Gaya yang dianutnya membuat Lukisan Kaca Cirebon terkenal diseantero Nusantara bahkan Mancanegara. Kedua Kutub dengan Gaya berbeda telah melahirkan puluhan Pelukis Muda yang berbakat dalam dunia seni lukis kaca bahkan dari kedua tokoh tersebut sangat menentukan dalam melahirkan regenerasi Pelukis Kaca Cirebon.

Terlepas dari semua itu, saat ini Lukisan Kaca Cirebon banyak dijadikan sebagai objek pembinaan dan pengembangan program peningkatan Usaha Produk Etnik yang diharapkan dapat mendongkrak Indeks Daya Beli. Beberapa diantaranya Lukisan Kaca Cirebon saat ini diarahkan kepada pembuatan produk massal yang lebih memungkinkan dalam peningkatan kapasitas produksi, peningkatan teknik produksi berorientasi pasar serta peningkatan diversifikasi produk untuk melahirkan Produk Cinderamata yang berbasis etnik.Seperti tak pernah kenal lelah Pemerintah Kota Cirebon melalui Disperindag dan Dekranasda Kota Cirfebon terus berupaya untuk meningkatkan Perkembangan Lukisan Kaca Cirebon.

Kendala klasik yang menjadi halangan perkembangan Lukisan Kaca Cirebon adalah perluasan pangsa pasar, karena tidaklah mudah mengalihkan masyarakat konsumen dari kebutuhan secunder ke kebutuhan primer. Kuncinya hanyalah ada pada ketersediaan produk Lukisan Kaca yang bermutu baik, berharga murah dan terjangkau , serta mudah dibawa dan mudah mencarinya. Hal ini membutuhkan keseriusan, ketelatenan dan kesabaran dalam menyikapi perkembangan Lukisan Kaca Cirebon.

Akhirnya , setelah sekian abad Lukisan Kaca Cirebon dikenal orang, masih banyak yang harus dilakukan dalam mempromosikan produk tersebut. Salah satunya melalui Promosi Internet yang kini menjadi sasaran dalam dunia perdagangan produk baik seni maupun kerajinan, sementara para pengguna internet telah mewabah diseantero jagat ini dan bukan mustahil Promosi Internet lebih banyak mamfaatnya bagi produsen barang seni dan kerajinan termasuk Produk Lukisan Kaca Cirebon.

Kehadiran DURIAN 19 ARTS bersama situsnya yang bernama durian19-arts.com memiliki banyak peluang dalam promosi Produk Lukisan Kaca Cirebon , walaupun memang bukan yang pertama dalam melakukan promosi melalui internet. Namun setidaknya kehadiran durian19-arts.com akan melengkapi wahana promosi bagi Pelukis Kaca Cirebon lainnya. Mudah-mudahan dengan kehadiran situs ini akan memberikan mamfaat bagi perkembangan Lukisan Kaca Cirebon yang dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para Pelukis Kaca Cirebon. Semoga.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Gamelan Cirebon


Hampir di semua Kraton yang ada di Cirebon selalu ada gamelan. Gamelan sudah merupakan bagian dari keraton. Begitu pula di lobby-lobby hotel saat ini banyak sekali mereka menggunakan gamelan untuk menyambut tamu dan lain-lain nya.

Gamelan adalah kumpulan dari berbagai macam alat musik yg di padukan menjadi satu sonata. Sehingga bisa kita sebut orchestra. Sehingga kita bisa menyebutnya "The Gamelan Cirebonesse Orchestra". Di Cirebon dikenal ada dua laras, yaitu Laras Slendro dan Pelog ada juga Prawa (Jenis laras ini sudah jarang di temui di Cirebon). Kedua laras ini menggunakan tangga nada yang sama yaitu Pentatonis berupa: da mi na ti la
Laras Slendro biasanya digunakan untuk Pagelaran Wayang kulit sedangkan Pelog biasanya digunakan untuk penyerta Seni Tari; Topeng, Wayang uwong, Tayuban. Kalau di liat sepintas memang sama tapi laras Pelog lebih berkesan meriah dibandingkan Slendro.

Lagu-lagu yang sering dilantunkan biasanya : Dermayon, Kiser, Rumyang, Bendrong, Tutul Pindang, Tratagan, Waledan, Kebo Giro, Barlen, Temenggungan, Dodoan, Slontongan, dan lain-lain.

Gamelan Cirebon biasanya terdiri dari beberapa alat musik yang masing-masing mempunyai ciri khas suara dan cara memainkannya pun berbeda.

Di bawah ini alat-alat music Gamelan Cirebon yang sering di gunakan pada setiap pagelaran.

Kendang
Terbuat dari kayu utuh yang di lubangi dan dipasangi dengan kulit di kedua sisinya. Ukuran kendang bermacam-macam. Satu set kendang terdiri dari 4 kendang kecil dan 1 kendang besar. Kendang berfungsi sebagai konduktor. Jadi penabuh kendah harus mengetahui alur music yang di mainkan. Juga harus mengikuti gerakan tarian sipenari atau juga gerakan Dalang saat memainkan wayang.

Saron
Saron terdiri dari 7 bilah yang terbuat dari perunggu dan dipasang diatas kayu dengan luabng di bawahnya yang berfungsi sebagai resonansi sehingga suaranya terdengar keras.

Bonang
Berbentuk mangkok dengan kepala berbentuk bundar. Dipasang di atas tali yang dihubungkan berjejer dengan satu sama lainnya.

Gender
Berbentuk seperti Saron tapi menghasilkan suara rendah teruat dari perunggu dan dipasangi silinder diibwahnya. biasanya terbuat dari bambu.

Gambang
Terbuat dari Kayu berjajar, berbentuk seperti saron tapi terdiri dari 4 tangga nada sehingga si penabuh selalu memainkan nya sesuai dengan irama musik dan diselaraskan dengan alunan pesinden dan suling

Gong
Berbentuk bundar dan berukuran besar sekitar 75-100cm diameternya.

Kempul
Gong kecil

Kenong
Pasangan dengan Jengglong berbentuk seperti bonang besar dan agak cungkup dan menghasilkan suara dengan resonansi yang lama

Ketuk
Terdiri dari 2 buah alat musik. yang berfungsi sebagai penyelaras tempo

Jengglong
Berbentuk seperti bonang yang berukuran besar

Suling
Terbuat dari bambu yang terdiri dari 6 lubang.

Bedug
Berbentuk sama seperti kendang hanya berukuran besar. Biasanya berdiameter lebih dari 1 meter di kedua sisinya. Menggunakan kulit lembu besar dan kayu yg berukuran besar pula

Kecrek

Jumat, 30 September 2011

Nasi jamblang ( Sega Jamblang )


Sega Jamblang disebut juga Nasi Jamblang. Keunikan nasi jamblang terletak pada nasinya yang dibungkus daun jati. Lauk pauknya terdiri dari aneka masakan seperti sayur tahu, tahu goreng, tempe tepung, tempe goreng, otak sapi, ikan tongkol, daging, sate kentang, sate usus, pepes rajungan, dan lain-lain.
Sega Jamblang berasal dari Kecamatan Jamblang, sangat cocok dijadikan makan siang ataupun makan malam.

Minggu, 18 September 2011

Peran Dakwah Sunan Gunung jati


PUSAT-PUSAT perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan ini mulai nampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil menyerang ibu kota Majapahit (Garff, 1976:3). Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa (Ambary, 1999:58).

Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa di Gunung Djati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara kota Cirebon Sekarang, telah tumbuh pesantren yang cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, letak pesantren itu tidak jauh dari Pasambangan. Ketika Tome Pires mengunjungiCirebon pada tahun 1513, ia mengatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar 1000 keluarga dan pengauasanya telah beragama Islam. Pires selanjutnya menyatakan, Islam telah hadir di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 (Lihat Cortesao, 1944:184-185).

Dalam tardisi Cirebon disebutkan bahwa Walangsungsang atau Cakrabumi—kemudian bergelar Cakrabuwana—melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah bersama adiknya, Rarasantang. Disebutkan bahwa Rarasantang dinikahi Sultan Mesir dan berputra Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Selanjutnya Syarif Hidayatullah menerima pemerintahan Cirebon dari Pamannya, Cakrabuwana pada sekitar tahun 1479 serta membuat pusat pemerintahan di Lemah wungkuk, ia kemudian tinggal di istana Pakungwati. Pakungwati inilah kelak menjadi tempat tinggal tetap para sultan Cirebon.

Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama Islam karena ia telah berguru agama Islam di Mekkah dan Madinah. Dalam perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak (Sulendraningrat, 1972:7; Siddique, 1977:64-65). Ketika tiba di pelabuhan Muara Djati (Cirebon) kemudian terus ke desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475—ada pula naskah yang menyebut tahun 1470. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syekh Maulana Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati mengajar juga di dukuh Babadan. Kemudian ia pergi ke Banten untuk mengajar agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten ia dinobatkan oleh uaknya menjadi kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon.

Di Cirebon, aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah, salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami diwilayah bawahan Cirebon. Metode dan cara dakwah SGD dapat dibaca dalam naskah-naskah tradisi Cirebon baik metode dakwah konvensional melalui ceramah keagamaan maupun metode dakwah yang—tidak dijamin kebenarannya dan aneh-aneh—diliputi oleh unsur-unsur legendaris dan a-historis.

Pada tahun 1480 dibangun Mesjid Agung yang dinamai Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan sebelah Barat alun-alun. Pembangunan mesjid ini dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Adapun pekerjaan fisiknya dilaksanakan oleh mantan arsitek Majapahit, Raden Sepat. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon disebutkan bahwa pembangunan mesjid agung ini melibatkan seluruh para wali tanah Jawa dan selesai dalam waktu satu malam. Mesjid Sang Cipta Rasa menurut Zen (1999:170) bukanlah berada di samping keraton dan sebelah barat alun-alun, tetapi berada di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana Gunung Djati, kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Nama mesjid ini nyaris tidak dikenal, sebab orang lebih mengenalnya sebagai Mesjid Sunan Gunung Djati

Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan prasarana umum, seperti keraton, sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya.

Pada tahun 1438 SGD memperluas dan melengkapi keraton Dalem Agung Pakungwati, bekas kediaman Cakrabuwana, dengan membangun bangunan-bangunan pelengkap serta tembol keliling setinggi 2,5 meter dan tebalnya 80 cm. Pada areal tanah seluas kurang lebih 20 hektar. Beberapa waktu kemudian dibangun pula tembok keliling ibu kota dengan tinggi dua meter, meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang, salah satunya disebut Lawang Gada.

Pada waktu pembangunan tembok keliling ibu kota, dibangun pula jalan besar dari alun-alun keraton Pakungwati ke pelabuhan Muarajati dengan maksud agar para pedagang asing atau utusan-utusan dari kerajaan lain yang masuk ke pelabuhan Muarajati dapat dengan mudah menemui Susuhunan apabila mereka mau menghadap atau membicarakan sesuatu, di samping untuk keamanan dan arus barang dari pelabuhan.

Tranportasi jalur laut pun diupayakan untuk ditata sebaik mungkin. Di sebelah tenggara keraton, di tepi sungai Kriyan, dibangun pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura yang disebut lawang Sanga dan bengkel pembuatan perahu besar serta istal kuda kerajaan dan pos-pos penjagaan. Sementara di pelabuhan Muarajati, bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercusuar yang dahulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-orang Cina, disempurnakan. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan dengan memanfaatkan orang-orang Cina ahli pembuat Jung yang dahulu dibawa oleh armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan di dekat Muarajati sudah banyak orang asing bertempat tinggal, baik dari Arab maupun Cina dan pasar rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil.

Untuk mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGD memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran (lihat Soenarjo, 1996:31-32).

Dalam tahun-tahun peratama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGD berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di gunung Sembung. Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat ia mendapat sebutan atau gelar Syekh Maulana Djati yang sehari-harinya disebut Syekh Djati. Selain di dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan, sekitar tiga kilometer dari dukuh sembung. Setelah beberapa lama tinggal di dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten.

Beberapa waktu lamanya SGD tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syi’ar Islam. Sepulangnya dari Banten pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda (lihat Sunardjo, 1983:55-57) ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah(Selendraningrat, 1968:16). Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sulendraningrat (1972:20) menyebutkan Panetep Panatagama rasul Soerat Sunda yang berkuasa di seluruh jazirah Sunda yang bersemayam di negeri Caruban untuk menggantikan Syekh Nurul Djati yang telah wafat.

Apabila diperhatikan dari permulaan timbulnya nagari Caruban sekitar tahun 1445 yang diawali oleh sebuah pemukiman kecil yang disebut Kebon Pesisir yang dipimpin oleh Ki Danusela kemudian berkembang menjadi Desa Caruban Larang yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuwana yang akhirnya menjadi negeri Cirebon yang dipimpin oleh seorang tumenggung bergelar Susuhunanpada sekitar pada tahun 1479, perkembangan ini hanya berlangsung kurang lebih 34 tahun jaraknya sejak dipimpin oleh kuwu hinggatumenggung/susuhunan.

Melalui penobatan SGD sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini secara tidak langsung merupakan pengumuman dari Walisanga kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar Islam. Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yaitu Pertama, adalah Kerajaan Demak yang telah terlebih dahulu berdiri, bersamaan dengan keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raden Fatah adalah Sultan Demak yang pertama kali diberi gelar oleh para wali dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin.. Kedua adalah kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul, yang keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo, 1983:62). Salana (1995:1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Djati sebagai Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon. Dalam pernyataannya, menurut Salana (1987:179) disebutkan bahwa Cirebon berdiri menjadi sebuah kerajaan yang merdeka dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, dan akan menjadi kesatuan dari tanah Sunda dalam satu nama kesultanan Pakungwati di Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Pajajaran yang biasanya diserahkan setiap tahun mlalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGD mulai memperluas daerah kekuasaannya.

Sunan Gunung Djati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator of Islam in West Java) (Stevens, 1978:80), dalam aktiviatsnya ia melakukan perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian Barat untuk menganut agama Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya, ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Namun dengan mengabaikan hal-hal tersebut, tugas SGD ini dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 62-63 dan surat al-Ankabut (29) ayat 69 menegaskan:

(62) Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedihhati.

(63) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.

Surat al-Ankabut (29) ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Di luar alasan dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu—termasuk SGD—adalah keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung, dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGD melakukan tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepat untuk mempercepat tersebarnya ajaran Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:104) mengutip al-Syaikh ‘Ali Mahfudz menyatakan bahwa menurut tuntunan Rasul, dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah), al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat yang bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh wali sanga, termasuk SGD.

Di samping, SGD diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah,bahkan tasawuf–di mana SGD dipandang sebagai pengikut Tareket Kubrawiyah dari Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah-, dan mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekeonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan. Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGD mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus iatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh SGD diganti dengan do’a-doa (Islam) (lihat Wiji Saksosono, 1995:111). Kecendrungan SGD diyakini mempunyai metode dakwah melalui media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya memberikan informasi tentang seringnya SGD bertindak sebagai tabib (ahli pengobatan). Perlu dieliminir bahwa sebagaipanatagama, dakwah SGD dalam kisah-kisah tradisi mengenai pengislaman masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan a-historis.Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon lebih menekankan pada dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan karamat wali.

Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial.

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:

  • Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
  • Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
  • Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti taligondewa).
  • Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
  • Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
  • Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan

  • Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji)
  • Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong)
  • Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benara atau disalahgunakan)

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:

  • Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik)
  • Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik)
  • Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
  • Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
  • Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
  • Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
  • Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
  • Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar)
  • Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
  • Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).
  • Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
  • Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang).
  • Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu).
  • Angasana diri (harus mawas diri)
  • Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik).
  • Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal)
  • Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih).
  • Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
  • Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji)
  • Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
  • Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
  • Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
  • Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
  • Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:

  • Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
  • Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur).
  • Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
  • Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia).
  • Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu).

Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kehidupan sosial;

  • Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
  • Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
  • Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
  • Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
  • Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang).

Petetah petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks, sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam petatah-petitih SGD, yaitu:

Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt.

Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya.

Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar.

Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang.

Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam.

Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9).

Peran Sosial-Budaya

SIMBOL-SIMBOL sosial—dan juga budaya—yang tampak pada masa pemerintahan SGD dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih kentara pad amasa kini. Siddique (1977:79-82) memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (casmic symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepada naga. Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tahap pertama adalahsyari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon).

Simbol-simbol di atas seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keIslaman yang berasal dari tradisi Walisongo—termasuk SGD. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya, tidak lain untuk menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam.

Menurut Wiji Saksono (1995:151), shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh dari masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali.

Sedekahan ini seperti halnya juga sekateen-an yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat (1985:85) berasal dari katasekati atau sukahati, nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari Pangeran sabrang Lor (Sultan Demak-II), setelah wafat suaminya, sebagai benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan sebagai syahadatain (Syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat.

Perayaan sekaten ini biasanya dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam yang dapat dinikmati bersama khalayak ramai pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi Muhammad saw. Yang tepatnya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekatendiakhiri dengan upacara gerebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada sratun nabiy (pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw.) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagi makanan hadiah sultan di Mesjid Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Dalam saat-saat gerebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, dan pembesar-pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mengayu bagja pada hari mulia lagi meriah itu (Lihat Saksono, 1995:150-151).

Upacara peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di keraton Cirebon menurut Sulendraningrat (1985:83-84) dimulai diadakan—dan dilaksanakan secara besar-besaran—ketika pengangkatan SGD sebagai wali kutub pada tahun 1470 M. Perayaan ini di kalangan masyarakat Cirebon dikenal dengan iring-iringanpanjang jimat.

Aktivitas perayaan keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kerabat karaton menunjukkan bahwa SGD dan keturunannya dalam struktur sosial—dengan mengutip pendapat Geertz dalam taksonomi santri, abangan, dan priyayi—oleh Siddique (1977:91) dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari peran, fungsi, dan kedudukan esensial SGD sebagai panatagama.

Memang, selama abad ke-16, terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat-pusat kakayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan makam-makam suci dibangun dengan paduan batu-bata dan seni hias dengan pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pedopo Jawa untuk keperluan ritual Islam (Reid, 1988:175). Demikian pula, Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di pulau Jawa bagian barat sekaligus menjadi pusat peradaban Islam yang memiliki beberapa karekter antara lain:

Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat secara hirarki sosial yang kompleks.

Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya mesjid agung Cirebon (sang Cipta Rasa), keraton-keraton (kasepuhan, kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan), dan bangunan sitingil yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam.

Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon yang antara lain memperlihatkan hadirnya anasir antropomorfis yang tidak lazim dalam seni rupa Islam.

Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik, dan berbagai seni pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam, ragam hias awan khas Cirebon, dan lain-lain.

Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan tempat-tempat lain di Jawa Barat—seperti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan Museum Cigugur Kuningan—yang sampai sekarang belum seluruhnya dipelajari secara seksama.

Tumbuhnya tarekat aliran syatariyah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengandung ajaran wujudiah atau martabat yang tujuh. Tradisi serat suluk ini kemudian amat berpengaruh pada tradisi sastra tulis serupa di Surakarta.

Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan (Ambary, 1998:109-110).

Peradaban Islam yang disebarkan oleh SGD memberi kontribusi pada pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrik, berkisar sekitar Tuhan, daripada konsep peradaban barat yang lebih menekankan pada aspek antroposentrik, berkisar pada manusia. Peradaban atau tamaddun Islam di Cirebon (dan Banten), seperti disebutkan dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, telah mengubah dua desa nelayan yang semula tidak berarti menjadi dua kota metropolis dan sentral aktivitas keagamaan Islam, dengan pelopor utamanya adalah Sunan Gunung Djati. Wallahu a’lam

Visit CIREBON

Visitor