Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa di Gunung Djati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara kota Cirebon Sekarang, telah tumbuh pesantren yang cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, letak pesantren itu tidak jauh dari Pasambangan. Ketika Tome Pires mengunjungiCirebon pada tahun 1513, ia mengatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar 1000 keluarga dan pengauasanya telah beragama Islam. Pires selanjutnya menyatakan, Islam telah hadir di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 (Lihat Cortesao, 1944:184-185). Dalam tardisi Cirebon disebutkan bahwa Walangsungsang atau Cakrabumi—kemudian bergelar Cakrabuwana—melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah bersama adiknya, Rarasantang. Disebutkan bahwa Rarasantang dinikahi Sultan Mesir dan berputra Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Selanjutnya Syarif Hidayatullah menerima pemerintahan Cirebon dari Pamannya, Cakrabuwana pada sekitar tahun 1479 serta membuat pusat pemerintahan di Lemah wungkuk, ia kemudian tinggal di istana Pakungwati. Pakungwati inilah kelak menjadi tempat tinggal tetap para sultan Cirebon. Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama Islam karena ia telah berguru agama Islam di Mekkah dan Madinah. Dalam perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak (Sulendraningrat, 1972:7; Siddique, 1977:64-65). Ketika tiba di pelabuhan Muara Djati (Cirebon) kemudian terus ke desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475—ada pula naskah yang menyebut tahun 1470. Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syekh Maulana Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati mengajar juga di dukuh Babadan. Kemudian ia pergi ke Banten untuk mengajar agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten ia dinobatkan oleh uaknya menjadi kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon. Di Cirebon, aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah, salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami diwilayah bawahan Cirebon. Metode dan cara dakwah SGD dapat dibaca dalam naskah-naskah tradisi Cirebon baik metode dakwah konvensional melalui ceramah keagamaan maupun metode dakwah yang—tidak dijamin kebenarannya dan aneh-aneh—diliputi oleh unsur-unsur legendaris dan a-historis. Pada tahun 1480 dibangun Mesjid Agung yang dinamai Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan sebelah Barat alun-alun. Pembangunan mesjid ini dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Adapun pekerjaan fisiknya dilaksanakan oleh mantan arsitek Majapahit, Raden Sepat. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon disebutkan bahwa pembangunan mesjid agung ini melibatkan seluruh para wali tanah Jawa dan selesai dalam waktu satu malam. Mesjid Sang Cipta Rasa menurut Zen (1999:170) bukanlah berada di samping keraton dan sebelah barat alun-alun, tetapi berada di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana Gunung Djati, kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Nama mesjid ini nyaris tidak dikenal, sebab orang lebih mengenalnya sebagai Mesjid Sunan Gunung Djati Untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan prasarana umum, seperti keraton, sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya) yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya. Pada tahun 1438 SGD memperluas dan melengkapi keraton Dalem Agung Pakungwati, bekas kediaman Cakrabuwana, dengan membangun bangunan-bangunan pelengkap serta tembol keliling setinggi 2,5 meter dan tebalnya 80 cm. Pada areal tanah seluas kurang lebih 20 hektar. Beberapa waktu kemudian dibangun pula tembok keliling ibu kota dengan tinggi dua meter, meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang, salah satunya disebut Lawang Gada. Pada waktu pembangunan tembok keliling ibu kota, dibangun pula jalan besar dari alun-alun keraton Pakungwati ke pelabuhan Muarajati dengan maksud agar para pedagang asing atau utusan-utusan dari kerajaan lain yang masuk ke pelabuhan Muarajati dapat dengan mudah menemui Susuhunan apabila mereka mau menghadap atau membicarakan sesuatu, di samping untuk keamanan dan arus barang dari pelabuhan. Tranportasi jalur laut pun diupayakan untuk ditata sebaik mungkin. Di sebelah tenggara keraton, di tepi sungai Kriyan, dibangun pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura yang disebut lawang Sanga dan bengkel pembuatan perahu besar serta istal kuda kerajaan dan pos-pos penjagaan. Sementara di pelabuhan Muarajati, bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercusuar yang dahulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-orang Cina, disempurnakan. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan dengan memanfaatkan orang-orang Cina ahli pembuat Jung yang dahulu dibawa oleh armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan di dekat Muarajati sudah banyak orang asing bertempat tinggal, baik dari Arab maupun Cina dan pasar rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil. Untuk mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGD memberlakukan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran (lihat Soenarjo, 1996:31-32). Dalam tahun-tahun peratama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGD berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di gunung Sembung. Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat ia mendapat sebutan atau gelar Syekh Maulana Djati yang sehari-harinya disebut Syekh Djati. Selain di dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan, sekitar tiga kilometer dari dukuh sembung. Setelah beberapa lama tinggal di dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten. Beberapa waktu lamanya SGD tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syi’ar Islam. Sepulangnya dari Banten pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda (lihat Sunardjo, 1983:55-57) ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Djati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah(Selendraningrat, 1968:16). Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sulendraningrat (1972:20) menyebutkan Panetep Panatagama rasul Soerat Sunda yang berkuasa di seluruh jazirah Sunda yang bersemayam di negeri Caruban untuk menggantikan Syekh Nurul Djati yang telah wafat. Apabila diperhatikan dari permulaan timbulnya nagari Caruban sekitar tahun 1445 yang diawali oleh sebuah pemukiman kecil yang disebut Kebon Pesisir yang dipimpin oleh Ki Danusela kemudian berkembang menjadi Desa Caruban Larang yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuwana yang akhirnya menjadi negeri Cirebon yang dipimpin oleh seorang tumenggung bergelar Susuhunanpada sekitar pada tahun 1479, perkembangan ini hanya berlangsung kurang lebih 34 tahun jaraknya sejak dipimpin oleh kuwu hinggatumenggung/susuhunan. Melalui penobatan SGD sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini secara tidak langsung merupakan pengumuman dari Walisanga kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar Islam. Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yaitu Pertama, adalah Kerajaan Demak yang telah terlebih dahulu berdiri, bersamaan dengan keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raden Fatah adalah Sultan Demak yang pertama kali diberi gelar oleh para wali dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah Amiril Mukminin.. Kedua adalah kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul, yang keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo, 1983:62). Salana (1995:1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Djati sebagai Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon. Dalam pernyataannya, menurut Salana (1987:179) disebutkan bahwa Cirebon berdiri menjadi sebuah kerajaan yang merdeka dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, dan akan menjadi kesatuan dari tanah Sunda dalam satu nama kesultanan Pakungwati di Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Pajajaran yang biasanya diserahkan setiap tahun mlalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGD mulai memperluas daerah kekuasaannya. Sunan Gunung Djati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator of Islam in West Java) (Stevens, 1978:80), dalam aktiviatsnya ia melakukan perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian Barat untuk menganut agama Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya, ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Namun dengan mengabaikan hal-hal tersebut, tugas SGD ini dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 62-63 dan surat al-Ankabut (29) ayat 69 menegaskan: (62) Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedihhati. (63) (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Surat al-Ankabut (29) ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Di luar alasan dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu—termasuk SGD—adalah keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung, dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGD melakukan tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepat untuk mempercepat tersebarnya ajaran Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:104) mengutip al-Syaikh ‘Ali Mahfudz menyatakan bahwa menurut tuntunan Rasul, dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah), al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat yang bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh wali sanga, termasuk SGD. Di samping, SGD diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah,bahkan tasawuf–di mana SGD dipandang sebagai pengikut Tareket Kubrawiyah dari Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah-, dan mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekeonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan. Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGD mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus iatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh SGD diganti dengan do’a-doa (Islam) (lihat Wiji Saksosono, 1995:111). Kecendrungan SGD diyakini mempunyai metode dakwah melalui media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya memberikan informasi tentang seringnya SGD bertindak sebagai tabib (ahli pengobatan). Perlu dieliminir bahwa sebagaipanatagama, dakwah SGD dalam kisah-kisah tradisi mengenai pengislaman masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan a-historis.Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon lebih menekankan pada dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan karamat wali. Salah satu bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama, dan kehidupan sosial. Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah: Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah: Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama: Petatah-Petitih yang berkaitan dengan kehidupan sosial; Petetah petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks, sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam petatah-petitih SGD, yaitu: Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt. Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya. Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar. Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang. Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam. Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9). Peran Sosial-Budaya SIMBOL-SIMBOL sosial—dan juga budaya—yang tampak pada masa pemerintahan SGD dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih kentara pad amasa kini. Siddique (1977:79-82) memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (casmic symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepada naga. Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tahap pertama adalahsyari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon). Simbol-simbol di atas seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keIslaman yang berasal dari tradisi Walisongo—termasuk SGD. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya, tidak lain untuk menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:151), shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh dari masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali. Sedekahan ini seperti halnya juga sekateen-an yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat (1985:85) berasal dari katasekati atau sukahati, nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari Pangeran sabrang Lor (Sultan Demak-II), setelah wafat suaminya, sebagai benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan sebagai syahadatain (Syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat. Perayaan sekaten ini biasanya dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam yang dapat dinikmati bersama khalayak ramai pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi Muhammad saw. Yang tepatnya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekatendiakhiri dengan upacara gerebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada sratun nabiy (pembacaan riwayat Nabi Muhammad saw.) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagi makanan hadiah sultan di Mesjid Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Dalam saat-saat gerebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, dan pembesar-pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mengayu bagja pada hari mulia lagi meriah itu (Lihat Saksono, 1995:150-151). Upacara peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di keraton Cirebon menurut Sulendraningrat (1985:83-84) dimulai diadakan—dan dilaksanakan secara besar-besaran—ketika pengangkatan SGD sebagai wali kutub pada tahun 1470 M. Perayaan ini di kalangan masyarakat Cirebon dikenal dengan iring-iringanpanjang jimat. Aktivitas perayaan keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kerabat karaton menunjukkan bahwa SGD dan keturunannya dalam struktur sosial—dengan mengutip pendapat Geertz dalam taksonomi santri, abangan, dan priyayi—oleh Siddique (1977:91) dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari peran, fungsi, dan kedudukan esensial SGD sebagai panatagama. Memang, selama abad ke-16, terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat-pusat kakayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan makam-makam suci dibangun dengan paduan batu-bata dan seni hias dengan pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pedopo Jawa untuk keperluan ritual Islam (Reid, 1988:175). Demikian pula, Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di pulau Jawa bagian barat sekaligus menjadi pusat peradaban Islam yang memiliki beberapa karekter antara lain: Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat secara hirarki sosial yang kompleks. Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya mesjid agung Cirebon (sang Cipta Rasa), keraton-keraton (kasepuhan, kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan), dan bangunan sitingil yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam. Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon yang antara lain memperlihatkan hadirnya anasir antropomorfis yang tidak lazim dalam seni rupa Islam. Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik, dan berbagai seni pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam, ragam hias awan khas Cirebon, dan lain-lain. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan tempat-tempat lain di Jawa Barat—seperti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan Museum Cigugur Kuningan—yang sampai sekarang belum seluruhnya dipelajari secara seksama. Tumbuhnya tarekat aliran syatariyah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengandung ajaran wujudiah atau martabat yang tujuh. Tradisi serat suluk ini kemudian amat berpengaruh pada tradisi sastra tulis serupa di Surakarta. Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan (Ambary, 1998:109-110). Peradaban Islam yang disebarkan oleh SGD memberi kontribusi pada pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrik, berkisar sekitar Tuhan, daripada konsep peradaban barat yang lebih menekankan pada aspek antroposentrik, berkisar pada manusia. Peradaban atau tamaddun Islam di Cirebon (dan Banten), seperti disebutkan dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, telah mengubah dua desa nelayan yang semula tidak berarti menjadi dua kota metropolis dan sentral aktivitas keagamaan Islam, dengan pelopor utamanya adalah Sunan Gunung Djati. Wallahu a’lam
PUSAT-PUSAT perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan ini mulai nampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil menyerang ibu kota Majapahit (Garff, 1976:3). Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa (Ambary, 1999:58).
2 komentar:
kayaknya kita pake template yang sama.. :)
ho'o.,
Posting Komentar